Jumat, 06 Januari 2012

MUTU PELAYANAN KEBIDANAN by Dwi Siti Rahayu


DWI SITI RAHAYU (201110104248)
KELAS F
D4 AANVULLEN

MUTU PELAYANAN KEBIDANAN

Pelayanan kebidanan bermutu adalah pelayanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk dan diselenggarakan sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan. Kode etik dan standar pelayanan profesi, pada dasarnya merupakan kesepakatan di antara kalangan profesi sehingga wajib digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan setiap kegiatan profesi.
Dimensi kepuasan pasien dapat dibedakan menjadi dua macam:
Pertama, kepuasan yang mengacu pada penerapan kode etik serta standar pelayanan profesi kebidanan. Kepuasan tersebut pada dasarnya mencakup penilaian terhadap kepuasan pasien mengenai hubungan bidan dengan pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan melakukan pemulihan, pengetahuan dan kompetensi (scientific knowledge dan technical skill) serta efektivitas pelayanan.
Kedua, kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kebidanan.
Suatu pelayanan dikatakan bermutu jika penerapan semua persyaratan pelauanan kebidanan dapat memuaskan pasien. Ukuran pelayanan kebidanan yang bermutu adalah ketersediaan pelayanan kebidanan (acailable), kewajaran pelayanan kebidanan (appropriate), kesinambungan pelayanan kebidanan (continue), penerimaan jasa pelayanan kebidanan (acceptable), keterjangkauan pelayanan kebidanan (affordable), efisiensi pelayanan kebidanan (efficient), dan mutu pelayanan kebidanan (quality). Mutu pelayanan kebidanan berorientasi pada penerapan kode etik dan standar pelayanan kebidanan, serta kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan pelayanan kebidanan. Tujuan akhir kedua dimensi mutu pelayanan kebidanan tersebut adalah kepuasan pasien yang dilayani bidan.
Bentuk program menjaga mutu pelayanan kebidanan tergantung dari unsur pelayanan kesehatan yang lebih diprioritaskan sebagai sasaran, program menjaga mutu dapat dibedakan atas 5 macam, yaitu :

Program menjaga mutu prospektif adalah program menjaga mutu yang dilaksanakan sebelum pelayanan kesehatan diselenggarakan. Pada bentuk ini, perhatian utama lebih ditujukan pada unsure masukan serta lingkungan. Untuk menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, perlulah diupayakan unsure masukan dan lingkungan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Prinsip pokok program menjaga mutu prospektif sering dimanfaatkan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Beberapa diantaranya yang terpenting adalah :
1.      Standarisasi (standardization)
Untuk dapat menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, ditetapkanlah standarisasi institusi kesehatan. Izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada institusi kesehatan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Dengan adanya ketentuan tentang standarisasi, yang lazimnya mencakup tenaga dan saran, dapatlah dihindarinya berfungsinya institusi kesehatan yang tidak memenuhi syarat. Standarisasi adalah suatu pernyataan tentang mutu yang diharapkan yaitu yang menyangkut masukan proses dari system pelayanan kesehatan.
Telah disadari bahwa pertolongan pertama/penanganan kegawatdaruratan obstetric neonatal merupakan komponen penting dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelayanan kebidanan di setiap tingkat pelayanan. Bila hal tersebut dapat diwujudkan, maka angka kematian ibu dapat diturunkan. Berdasarkan itu, standar pelayanan kebidanan ini untuk penanganan keadaan tersebut, disamping standar untuk pelayanan kebidanan dasar.
Dengan demikian ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut:
a.       Standar pelayanan umum (2 standar)
b.      Standar pelayanan antenatal (6 standar)
c.       Standar pertolongan persalinan (4 standar)
d.      Standar pelayanan nifas (3 standar)
e.       Standar penanganan kegawatdaruratan obstetric-neonatal (9 standar)
2.      Perizinan (licensure)
Sekalipun standarisasi telah terpenuhi, bukan lalu berarti mutu pelayanan kesehatan selalu dapat dipertanggung jawabkan. Untuk mencegah pelayanan kesehatan yang tidak bermutu, standarisasi perlu diikuti dengan perizinan yang lazimnya ditinjau secara berkala. Izin menyelenggarakan pelayanan kesehatan hanya diberikan kepada institusi kesehatan dan atau tenaga pelaksana yang memenuhi persyaratan. Lisensi adalah proses administasi yang dilakukan oleh pemerintah atau yang berwewenang berupa surat izin praktik yang diberikan kepada tenaga profesi yang telah teregistrasi untuk pelayanan mandiri. Tujuan lisensi adalah sebagai berikut:
a.       Tujuan umum lisensi: Melindungi masyarakat dari pelayanan profesi.
b.      Tujuan khusus lisensi: Memberi kejelasan batas wewenang dan menetapkan sarana dan prasarana.
Lisensi (perizinan) pada tenaga kesehatan ini juga tercantum pada peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 Bab III Pasal  4. 
a.       Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
b.      Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
3.      Sertifikasi (certification)
Sertifikasi adalah tindak lanjut dari perizinan,yakni memberikan sertifikat (pengakuan) kepada institusi kesehatan dan atau tenaga pelaksanan yang benar-benar memenuhi persyaratan.


4.      Akreditasi (accreditation)
Akreditasi adalah bentuk lain dari sertifikasi yang nilainya dipandang lebih tinggi. Lazimnya akreditasi tersebut dilakukan secara bertingkat, yakni yang sesuai dengan kemampuan institusi kesehatan dan atau tenaga pelaksana yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Akreditasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang terbuka.

Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu konkuren adalah yang diselenggarakan bersamaan dengan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini perhatian utama lebih ditujukan pada standar proses, yakni memantau dan menilai tindakan medis, keperawatan dan non medis yang dilakukan. Program menjaga mutu konkuren adalah program menjaga mutu yang dilaksanakan bersamaan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pada bentuk ini, perhatian utama lebih ditujukan pada unsur proses, yakni menilai tindakan medis dan nonmedis yang dilakukan. Apabila kedua tindakan tersebut tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehatan yang diselenggarakan kurang bermutu.
Program menjaga mutu konkuren dinilai paling baik, namun paling sulit dilaksanakan. Penyebab utamanya adalah karena adanya factor tentang rasa serta ‘bias’ pada waktu pengamatan. Seseorang akan cenderung lebih berhati-hati, apabila mengetahui sedang diamati. Kecuali apabila pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh satu tim (team work), atau apabila telah terbentuk kelompok kesejawatan (per group).
Mutu pelayanan kesehatan sebenarnya menunjuk pada penampilan (performance) dari pelayanan kesehatan yang dikenal dengan Keluaran (output) yaitu hasil akhir kegiatan dari tindakan dokter dan tenaga profesi lainnya terhadap pasien, dalam arti perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun sebaliknya. Sedangkan baik atau tidaknya keluaran tersebut sangat dipengaruhi oleh proses (process), masukan (input) dan lingkungan (environment). Maka jelaslah bahwa baik atau tidaknya mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur tersebut, dan untuk menjamin baiknya mutu pelayanan kesehatan ketiga unsur harus diupayakan sedemikian rupa agar sesuai dengan standar dan atau kebutuhan.
1.      Tujuan
Tujuan program menjaga mutu mencakup dua hal yang bersifat pokok, yang jika disederhanakan dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Tujuan antara.
Tujuan antara yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah diketahuinya mutu pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu, tujuan ini dapat dicapai apabila masalah serta prioritas masalah mutu berhasil ditetapkan.


b.      Tujuan akhir.
Tujuan akhir yang ingin dicapai oleh program menjaga mutu ialah makin meningkatnya mutu pelayanan. Jika dikaitkan dengan kegiatan program menjaga mutu, tujuan ini dapat dicapai apabila masalah dan penyebab masalah mutu berhasil diatasi.
2.      Manfaat
Apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan, banyak manfaat yang akan diperoleh. Secara umum beberapa manfaat yang dimaksudkan adalah:
a.       Dapat lebih meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.
Peningkatan efektifitas yang dimaksud di sini erat hubungannya dengan dapat diselesaikannya masalah yang tepat dengan cara penyelesaian masalah yang benar. Karena dengan diselenggarakannya program menjaga mutu dapat diharapkan pemilihan masalah telah dilakukan secara tepat serta pemilihan dan pelaksanaan cara penyelesaian masalah telah dilakukan secara benar.
b.      Dapat lebih meningkatkan efesiensi pelayanan kesehatan.
Peningkatan efesiensi yang dimaksudkan disini erat hubungannya dengan dapat dicegahnya pnyelenggaraan pelayanan yang berlebihan atau yang dibawah standar. Biaya tambahan karena pelayanan yang berlebihan atau karena harus mengatasi berbagai efek samping karena pelayanan yang dibawah standar akan dapat dicegah.
c.       Dapat lebih meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Peningkatan penerimaan ini erat hubungannya dengan telah sesuainya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan. Apabila peningkatan penerimaan ini dapat diwujudkan, pada gilirannya pasti akan berperan besar dalam turut meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
d.      Dapat melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari kemungkinan munculnya gugatan hukum.
Pada saat ini sebagai akibat makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat serta diberlakukannya berbagai kebijakan perlindungan publik, tampak kesadaran hukum masyarakat makin meningkat pula. Untuk melindungi kemungkinan munculnya gugatan hukum dari masyarakat yang tidak puas terhadap pelayanan kesehatan, tidak ada pilihan lain yang dapat dilakukan kecuali berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang terjamin mutunya. Dalam kaitan itu peranan program menjaga mutu jelas amat penting, karena apabila program menjaga mutu dapat dilaksanakan dapatlah diharapkan terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, yang akan berdampak pada peningkatan kepuasan para pemakai jasa pelayanan kesehatan.


Program menjaga mutu retrospektif adalah program menjaga mutu yang dilaksanakan setelah pelayanan kesehatan diselenggarakan. Pada bentuk ini, perhatian utama lebih ditujukan pada unsur keluaran, yakni menilai pemanpilan peleyanan kesehatan. Jika penampilan tersebut berada dibawah standar yang telah ditetapkan, maka berarti pelayanan kesehtan yang diselenggarakan kurang bermutu.
Karena program menjaga mutu retrospektif dilaksanakan setelah diselenggarakannya pelayanan kesehatan, maka objek program menjaga mutu umumnya bersifat tidak langsung. Dapat berupa hasil dari pelayanan kesehatan, atau pandangan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Beberapa contoh program menjaga mutu retrospektif adalah:
1.      Reviw rekam medis (record review)
Disini penampilan pelayanan kesehatan dinilai dari rekam medis yang dipergunakan. Semua catatan yang ada dalam rekam medis dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Tergantung dari masalah yang ingin dinilai, reviu rekam medis dapat dibedakan atas beberapa macam. Misalnya drug usage review jika yang dinilai adalah penggunaan obat, dan atau surgical case review jika yang dinilai adalah pelayanan pembedahan. Review merupakan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan, penggunaan sumber daya, laporan kejadian/kecelakaan seperti yang direfleksikan pada catatan-catatan. Penilaian dilakukan baik terhadap dokumennya sendiri apakah informasi memadai maupun terhadap kewajaran dan kecukupan dari pelayanan yang diberikan.
2.      Review jaringan (tissue review)
Disini penampilan pelayanan kesehatan (khusus untuk bedah) dinilai dari jaringan pembedahan yang dilakukan. Apabila gambaran patologi anatomi dari jaringan yang diangkat telah sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan, maka berarti pelayanan bedah tersebut adalah pelayanan kesehatan yang bermutu.
3.      Survei klien (client survey)
Disini penampilan pelayanan kesehatan dinilai dari pandangan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Survai klien ini dapat dilakukan secara informal, dalam arti melangsungkan tanya jawab setelah usainya setiap pelayanan kesehatan, atau secara formal, dalam arti melakukan suatu survei yang dirancang khusus. Survei dapat dilaksanakan melalui kuesioner atau interview secara langsung maupun melalui telepon, terstruktur atau tidak terstruktur. Misalnya : survei kepuasan pasien.

Yang dimaksud dengan Program menjaga mutu internal adalah bentuk kedudukan organisasi yang bertanggungjawab menyelenggarakan Program Menjaga Mutu berada di dalam institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Untuk ini di dalam institusi pelayanan kesehatan tersebut dibentuklah suatu organisasi secara khusus diserahkan tanggung jawab akan menyelenggarakan Program Menjaga Mutu.
1.      Tujuan
Tujuan Program Menjaga Mutu secara umum dapat dibedakan atas dua macam. Tujuan tersebut adalah:
a.       Tujuan Umum
Tujuan umum Program Menjaga Mutu adalah untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

b.      Tujuan Khusus
Tujuan khusus Program Menjaga Mutu dapat dibedakan atas lima macam yakni:
1)      Diketahuinya masalah mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarkan,
2)      Diketahuinya penyebab munculnya masalah kesehatan yang diselenggarakan,
3)      Tersusunnya upaya penyelesaian masalah dan penyebab masalah mutu pelayanan kesehatan yang ditemukan,
4)      Terselenggarakan upaya penyelesaian masalah dan penyebab masalah mutu pelayanan kesehatan yang ditemukan,
5)      Tersusunnya saran tindak lanjut untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Jika ditinjau dari peranan para pelaksananya, secara umum dapat dibedakan atas dua macam:
1.      Para pelaksana program menjaga mutu adalah para ahli yang tidak terlibat dalam pelayanan kesehatan (expert group) yang secara khusus diberikan wewenang dan tanggung jawab menyelenggarakan program menjaga mutu.
2.      Para pelaksana program menjga mutu adalah mereka yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan (team based),jadi semacam gugus kendali mutu,sebagaimana yang banyak dibentuk didunia industry.
Dari dua bentuk organisasi yang dapat dibentuk ini, yang dinilai paling baik adalah bentuk yang kedua, karena sesungguhnya yang paling bertanggungjawab menyelenggarakan program menjaga mutu seyogyanya bukan orang lain melainkan adalah mereka yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan itu sendiri.

Pada bentuk ini kedudukan organisasi yang bertanggungjawab menyelenggarakan program menjaga mutu berada diluar institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Untuk ini, biasanya untuk suatu wilayah kerja tertentu dan/atau untuk kepentingan tertentu, dibentuklah suatu organisasi, diluar institusi yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, yang diserahkan tanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan, yang diserahkan tanggung jawab menyelenggarakan program menjaga mutu, misalnya suatu badan penyelenggara program asuransi kesehatan, yang untuk kepentingan programnya, membentuksuatu unit program menjaga mutu, guna memantau, menilai serta mengajukan saran-saran perbaikan mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh berbagai institusipelayanan kesehatan yang tergabung dalam program yang dikembangkannya.
Pada program menjaga mutu eksternal seolah-olah ada campur tangan pihak luar untuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu institusi pelayanan kesehatan, yang biasanya sulit diterima.
1.      Menetapkan Masalah Mutu
Masalah adalah sesuatu hal yang tidak sesuai dengan harapan. Dengan demikian, masalah mutu layanan kesehatan adalah kesenjangan yang terjadi antara harapan dengan kenyataan dari berbagai dimensi mutu layanan kesehatan termasuk kepuasan pasien, kepuasan petugas kesehatan, dan kepatuhan petugas kesehatan dalam menggunakan standar layanan kesehatan sewaktu memberikan layanan kesehatan kepada pasien. Masalah mutu layanan kesehatan dapat dikenali dengan berbagai cara antara lain :
a.       Melalui pengamatan langsung terhadap petugas kesehatan yang sedang melakukan layanan kesehatan.
b.      Melalui wawancara terhadap pasien dan keluarganya, masyarakat, serta petugas kesehatan.
c.       Dengan mendengar keluahan pasien dan keluarganya, masyarakat, serta petugas kesehatan.
d.      Dengan membaca serta memeriksa catatan dan laporan serta rekam medik.
Inventarisasi masalah mutu layanan kesehatan dasar akan dilakukan oleh kelompok. Jaminan mutu layanan kesehatan melalui curah pendapat atau teknik kelompok nominal. Setiap anggota kelompok diminta mengemukakan sebanyak mungkin masalah mutu layanan kesehatan. Setelah terkumpul, masalah utu tersebut harus diseleksi untuk membedakan mana yang benar-benar masalah mutu atau bukan. Seleksi dilakukan melalui klarifikasi dan komfirmasi terhadap masalah yang terkumpul.
Klarifikasi di sini ditujukan untuk menghilangkan atau memperjelas masalah yang belum atau tidak jelas dan untuk menghindari terjadinya masalah mutu layanan kesehatan yang tumpang tindih. Komfirmasi maksudnya adalah terdapatnya dukungan data untuk setiap masalah yang telah diklarifikasikan sebagai bukti bahwa masalah mutu layanan kesehatan memang ada. Setelah dilakukan klarifikasi dan konfirmasi, maka yang bukan masalah mutu akan disingkirkan, sementara masalah mutu yang tersisa akan ditentukan prioritasnya. Masalah mutu yang baik dapat digunakan sebagai bahan ajar untuk mencari pengalaman dalam memecahkan masalah mutu layanan kesehatan. Karakteristik masalah mutu semacam ini antara lain :
a.       Mudah dikenali, karena biasanya dapat dipecahkan dengan mudah dan cepat.
b.      Masalah mutu layanan kesehatan, yang menurut petugas layanan penting;.
c.       Masalah mutu layanan kesehatan yang mempunyai hubungan emosional dengan petugas layanan.


Setiawan. 2010, sekumpulan Naskah etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan. Jakarta: CV. Trans Info Medika

W., Nurul Eko. 2010 Eika Profesi dan Hukum Kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Rihama

Wahyuningsih, Heni Puji. 2005. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya

Zulvadi, Dudi. 2010. Etika & Manajemen Kebidanan. Yogyakarta: Cahaya Ilmu





PERDARAHAN POST PARTUM POST PARTUM HEMORRHAGIC (PPH)




PERDARAHAN POST PARTUM
POST PARTUM HEMORRHAGIC (PPH)








Disusun oleh :
Jusmala Sari
20110104259











PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2012


PERDARAHAN POST PARTUM
POST PARTUM HEMORRHAGIC (PPH)

  1. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan pervaginam yang melebihi 500 ml (Saifuddin, 2002). Terdapat beberapa maqsalah mengenai definisi ini:
1.      Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari sebenarnya. Darah tersebut bercampur dengan cairan amnion atau dengan urine. Darah juga tesebar pada spons, handuk dan kain, di dalam ember dan di lantai.
2.      Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang anemia.
3.      Perdarahan dapat terjadi dengan lambat untuk jangka waktu beberapa jam dan kondisi ini dapat tidak dikenali sampai terjadi syok.
Penilaian risiko pada saat antenatal tidak dapat memeperkirakan akan terjadinya perdarahan postpartum. Penanganan aktif kala tiga sebaiknya dilakukan pada semua wanita yang bersalin  karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan postpartum akibat atonia uteri. Semua ibu harus dipantau dengan ketat untuk mendiagnosis perdarahan postpartum.

  1. Jenis-jenis Perdarahan Postpartum
Jenis-jenis perdarahan postpartum:
1.      Perdarahan postpartum primer adalah perdarahan setelah bayi lahir  dan  dalam 24 jam pertama persalinan.
2.      Perdarahan pascapersalinan sekunder adalah perdarahan setelah 24 jam pertama persalinan.
(Prawirohardjo, 2005)


  1. Penanganan Umum
Pencegahan:
Cara  yang terbaik untuk mencegah terjadinya perdarahan postpartum adalah memimpin kala II dan kala III persalinan sesuai prosedur dan tidah teburu-buru.
Penanganan:
Penanganan umum pada perdarahan postpartum
a)      Ketahui dengan pasti kondisi pasien sejak awal (saat masuk)
b)      Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman (termasuk upaya pencegahan perdarahan pascapersalinan)
c)      Lakukan observasi melekat pada 2 jam pertama pascapersalinan (di ruang persalinan) dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya (di ruang rawat gabung).
d)     Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
e)      Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
f)       Atasi syok
g)      Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, berikan uterotonika 10 IU IM dilanjutkan infus 20 IU dalam 500cc NS/RL dengan 40 tetesan permenit.
h)      Pastikan plasenta telah lahir dan lengkap, eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
i)        Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
j)        Pasang kateter tetap dan lakukan pemantauan input-output cairan
k)      Cari penyebab perdarahan dan lakukan penangan spesifik.

  1. Sebab-sebab Perdarahan Post Partum
1.      Perdarahan Poswtpartum Primer
Sebab-sebab terjadinya postpartum primer adalah sebagai berikut:
a)      Atonia Uteri
Pada kehamilan cukup bulan aliran darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran placenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar 350-500 cc/menit dari bekas melekatnya placenta. Bila uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara serabut otot tadi. Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat berkontraksi dan bila terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat melekatnya placenta menjadi tak terkendali.
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pascapersalinan dalam waktu kurang dari satu jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90 % perdarahan pascapersalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi (Ripley, 1999). Sebagian besar kematian akibat perdarahan pascapersalinan terjadi pada beberapa jam pertama setelah kelahiran bayi (li, et al., 1996). Karena alasan ini, penatalaksanaan persalinan kala tiga merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk mengurangi kematian ibu.
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pascapersalinan yang isebabkan oleh atonia uteri adalah:
·         Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya: jumlah air ketuban yang berlebihan, kehamilan gemeli, dan janin besar (makrosomia).
·         Kala satu dan/atau dua yan g memanjang.
·         Persalinan cepat (partus presipitatus).
·         Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi).
·         Infeksi intrapartum.
·         Multiparitas tinggi.
·         Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada preekmpsia/eklampsia.
Penatalaksanaan Atonia Uteri
Atonia uetri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil (masase) fundus uteri.

Prosedur Kompresi Bimanual Interna (KBI):
a.       Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melelui introitus ke dalam vagina ibu.
b.      Periksa vagina dan servik. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri  mungkin hal ini menyebabkan uterus tak berkontraksi secara penuh.
c.       Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior uterus ke arah depan sehingga uterus di tekan dari arah depan dan belakang.
d.      Tekan kuat uterus diantara ke dua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.
e.       Evaluasi keberhasilan :
1)      Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBI selama 2 menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat selama kala empat
2)      Jika uterus barkontraksi tapi perdaran masih berlangsung, periksa ulang perineum, vagina, dan cerviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segara lakukan penjahitan untuk manghentikan perdarahan.
3)      Jiak uterus tidak berkontraksi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanua eksternal (KBE) kemudian langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluaga untuk menyiapkan rujukan.
Kompresi Bimanual Eksternal ( KBE) :
a.       Letakan satu tangan pada dinding abdomen dan dinding depan korpus uteri dan di atas simpisis pubis
b.      Letakan tangan lain pada dinding abdomen dan dinding belakang korpus uteri sejajar dengan dinding depan korpus uteri. Usakan untuk mencakup/memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
c.       Lakuakan kompresi uterus dengan cara saling mendekatkan tangan depan dan belakang agar pembuuh darah di dalam anyaman miometrium dapat dijepit secara manual. Cara ini dapat menjepit pembuluh darah uterus dan membatu uterus untuk berkontraksi.
b)      Robekan Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Gejala dan tanda:
1.      Perdarahan segera
2.      Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir.
3.      Uterus kontraksi baik.
4.      Pasenta lengkap.
5.      Pucat, lemah dan menggigil.
Penatalaksanaan:
1.      Periksalah dengan seksama dan perbaiki robekan pada serviks atau vagina dan perineum.
2.      Lakukan uji pembekuan darah sederhana jika perdarahan terus berlangsung.
c)      Retensio Placenta
Tanda dan gejala:
1.      Plasenta belum lahir setelah 30 menit.
2.      Perdarahan segera
3.      Uterus berkontraksi baik.
Penanganan:
Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan 10 unit oksitosin IM dosis kedua. Perikasa kandung kemih. Jika ternyata penuh, gunakan tekhnik aseptic untuk memasukkan kateter nelaton desinfeksi tingkat tinggi at6au steril untuk mengosongkan kandung kemih. Ulangi kembali melakukan penegangan tali pusat dan tekanan doso cranial. Lakukan rujukan apabila setelah 30 menit plasenta belum lepas. Tetapi apabila fasiliotas kesehatan rujukan sulit dijangkau dan kemudian timbul perdarahan maka sebaiknya lakukan tindakan plasenta manual.
Plasenta manual
Prosedur melakukan plasenta manual:
1.      Persiapan:
a.       Pasang set dan cairan infuse.
b.                                                                                                                                                            Jelaskan pada ibu prosedur dan tujuan tindakan.
c.                                                                                                                                                             Lakukan anestesi verbal atau anaestesi perrectal.
d.                                                                                                                                                            Siapkan dan jalankan prosedur pencegahan ionfeksi.
2.      Tindakan penetrasi ke dalam cavum uteri:
a.       Pastikan kandung kemih dalam keadaan kosong.
b.      Jepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai.
c.       Secara obstetric, masukkan tangan lainnya (pngguna tangan menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan menelusuri sisi bawah tali pusat.
d.      Setelah mencapai bukaan serviks, minta seorang asisten/penoilong lain untuk memegangkan klem tali pusat kemudian pindahkan tangan luar untuk menahan fundus uteri.
e.       Sambil menahan fundus uteri, masukkan tangan dalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat imnplantasi plasenta.
f.       Bentangkan tangan obstetric menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari merapat ke jari telunjuk dan jari-kjari lain saling merapat).
3.      Melepas plasenta dari dinding Uterus.
g.      Tentukan inplantasi plasenta, temukan tepi plasenta palinag bawah.
h.      Setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan ke kanan dan kri sambil digeserkan ke atasa (cranial Ibu) hingga semua perlekatan plasenta terlepas dari diding uterus.
4.      Mengeluarkan Plasenta
i.        Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada sisa plasenta yang tertinggal.
j.        Pindahkan tangan luar dari fundus ke suprta simfisis (tahan segmen bawah uterus) kemudian instruksikan asisten/penoiolong untuk menarik tali pusat sambil tanmgan dalam memvawa plasenta keluar. (hindari terjadinya percikan darah).
k.      Lakukan penekanan (dengan tangan yang menahan suprasinfisis) uterus kea rah dorso cranial setelah plasdenta dilahirkan dan tempatkan plasenta di dalam wadah yang telah disediakan.
5.      Pencegahan Infeksi Pascatindakan
l.        Dekontaminasi sarung tangan (sebelum dilepaskan) dan peralatan lain yang digunakan.
m.    Lepaskan dan rendam sarung tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5 % selama 10 menit.
n.      Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir.
o.      Keringkan tangan dengan handuk bersih dan kering.
6.      Pemantauan Pascatindakan
p.      Periksa kembali tanda vital ibu.
q.      Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan.
r.        Tulliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperluikan dan asuhan lanjutan.
s.       Beritahukan kepada ibu dan keluarganya bahwa bahwa tindakan telah selesai tetapi ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan.
t.        Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pascatindakan
b
 
a
 
c
 
d)     Tertinggalnya Sebagian Placenta
Tanda dean gejala:
1)      Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap.
2)      Perdarahan segera.
3)      Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang.


Penanganan Khusus:
1)      Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus menggunakan tekhnik yang serupa dengan yang digunakan untuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar.
2)      Keluarkan sisa plasenta dengan tangan, cunam ovum, atau kuret besar.
3)      Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan menggunakan uji pembekuan darah sederhana.
e)      Inversio Uteri
Uterus dikatakan mengalami inversi jika bagian dalam menjadi bagian di luar saat melahirkan plasenta.
Tanda dan gejala:
1)      Uterus tidak teraba.
2)      Lumen vagina terisi masa.
3)      Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir) .
4)      Perdarahan segera.
5)      Nyeri sedikit atau berat.


Penanganan Khusus:
Reposisi sebaiknya dilakukan segera. Dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.
1)      Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebih dari 1000 mg) IM atau Ivsecara perlahan. Jangan berikan oksitosin sampai in versi telah direposisi.
2)      Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan menggunakan uji pembekuan darah sederhana.

2.      Perdarahan Pascapersalinan Sekuner
Peradrahan pascapersalinan yang lama atau tertunda mungkin tanda terjadinya metritis .
Tanda dan gejala:
a.       sub-involusi uterus
b.      Nyeri tekan perut bawah.
c.       Perdarahan lebih 24 jam setelah persalinan perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (jika disertai infeksi).
Penanganan Khusus:
a.       Berikan oksitosin
b.      Jika swerviks masih berdilatasi, lakukan eksplorasi dengan tangan untuk mengeluarkan bekuan-bekuan besar dan sisa plasenta. Eksplorasi manual uterus menggunakan tekhnik yang serupa dengan yang digunakan untuk mengeluarkan plasenta yang tidak keluar.
c.       Jikas saerviks tidak berdilatasi, evakuasi unmtuk mengeluarkan sisa plasenta.
d.      Pada kasus lebih jarang, jika perdarahan terus berlanjut, pikirkan kemungkinan meklakukan ligasi arteri uterina dan utero ovarika atau histerektomi.
e.       Lakukan pemeriksaan histologi dari jaringan hasil kuret atau histerektomi, jika memungkinkan, untuk menyinkirkan penyakit trofoblas ganas.





























DAFTAR PUSTAKA


Abid. http://drabid.blogspot.com/2009/01/perdarahan-post-partum.html. tentang perdarahan post partum. Diakses 15 November 2009.

Israr, Yayan A. http://yayanakhyar.wordpress.com.tentang perdarahan post Jartum (post Jartum haemorargik). Diakses 29 September 2009.

Saifuddin, Abdul Bari. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, Gulardi. 2008. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPK-KR.